Eka Tjipta Widjaja
"Sukses Hanya Dengan Ijazah SD"
Perjalanan Hidup
Eka Tjipta
Widjaja, pada tahun 1932,bersama ibunya hijrah dari China ke Indonesia,
tepatnya Makassar, ketika usia beliau 9 tahun. Setiba di Makassar, Eka
kecil segera membantu ayahnya berjualan di toko yang dimiliki ayah
beliau. Tujuannya jelas, segera mendapatkan 150 dollar, guna dibayarkan
kepada rentenir. Dua tahun kemudian hutang pun terbayar, toko ayahnya
maju, dan Eka pun bersekolah.
Karena
masalah ekonomi, Eka kecil tak mampu melanjutkan sekolahnya, dan hanya
mendapatkan ijazah SD. Eka kecil pun mulai berjualan, berlandaskan
pengalamannya dalam berjualan, beliau memulai usahanya dari berjualan biskuit, kembang gula,
barang bekas sisa peledakan pelabuhan semen, pemborong rumah, bisnis
minyak kelapa, grosir makanan, kopra, dll. Tetapi itu semua tidak
semudah, dan semulus kenyataannya, penuh lika liku dan tantangan, serta banyak masalah yang beliau hadapi.
Sampai akhirnya pada usia senja
beliau mendirikan PT Tjiwi Kimia yang bergerak di bidang bahan kimia,
yang kemudian berkembang menjadi pabrik kertas, mendirikan PT Smart
perkebunan kelapa sawit. Pada usia 59 tahun, memiliki BII, saat ini
Sinarmas Group mengoperasikan Bank Sinarmas. dan pada usia 61 tahun,
beliau membeli perusahaan kertas PT Indah Kiat Pulp&Paper di
Tangerang, setelah 10 tahun beliau membeli perusahaan tersebut produksi
Indah Kiat yang semula 50.000 ton per tahun menjadi 700.000 ton per
tahun.
Perjalanan
Pada usia 15 tahun, beliau mencoba berjualan kembang
gula dan biskuit. Beliau memulai usahanya dengan tanpa modal, beliau
mengambil barang dagangan terlebih dahulu, dan membayarnya bila barang
dagangan tersebut laku. Akan tetapi pada awalnya beliau ditolak oleh
pemilik toko grosir. Dalam keadaan seperti ini, beliau tidak patah
arang, di dalam pikiran beliau, hanya ada satu keinginan untuk survive
demi merubah nasib keluarganya. Akhirnya dengan bermodal ijazah SD
beliau sebagai jaminan, beliau dapat dipercaya oleh orang/pemilik toko
grosir untuk menjualkan barang dagangannya.
Memang beliau itu ulet dan pekerja keras, beliau dengan semangat berjualan dengan
sepedanya menjual barang dagangannya ke toko-toko di wilayah Makassar.
Tidak heran, hanya dalam 2 bulan, beliau sudah mengail laba Rp 20,
(harga beras masih 3-4 sen per kilogram), dan sudah dapat untuk membeli
becak untuk mengangkut barang-barang dagangannya tersebut.
Namun usaha tersebut hancur
total, karena ulah Jepang yang menyerbu Indonesia, termasuk Makassar,
tak ada barang lagi yang bisa dijual. Total keuntungan Rp 2000 yang
beliau kumpulkan susah payah selama bertahun-tahun, habis dibelanjakan
untuk kebutuhan sehari-hari.
Dalam
keterpurukan, beliau tidak mudah menyerah, dan tidak mudah putus asa.
beliau terus berusaha keras agar tujuannya untuk memperbaiki
kehidupannya bisa terwujud nyata. Eka pun mengayuh sepedanya
mengelilingi Makassar, sambil berpikir untuk mencari ide bisnis baru.
Sampailah beliau di Paotere, di situlah beliau melihat betapa ratusan
tentara Jepang sedang mengawasi ratusan tawanan pasukan Belanda. Tetapi
bukan tentara Jepang dan Belanda yang menarik Eka, melainkan bongkahan
semen, besi-besi bekas dan barang lain-lainnya. Otak bisnis Eka segera
berputar.
Eka pun bergegas pulang dan mengadakan
persiapan untuk membuka tenda di dekat lokasi itu. Beliau merencanakan
menjual makanan dan minuman kepada tentara Jepang yang ada di lapangan
kerja itu. Keesokan harinya, masih pukul empat subuh, Eka sudah di
Paotere. Beliau membawa serta kopi, gula, kaleng bekas minyak tanah yang
diisi air, oven kecil berisi arang untuk membuat air panas, cangkir,
sendok dan sebagainya. Semula alat itu beliau pinjam dari ibunya. Enam
ekor ayam ayahnya ikut beliau pinjam. Ayam itu dipotong dan dibikin ayam
putih gosok garam. Beliau juga pinjam satu botol wiskey, satu botol
brandy dan satu botol anggur dari teman-temannya.
Jam tujuh
pagi beliau sudah siap jualan.
Benar
saja, pukul tujuh, 30 orang Jepang dan tawanan Belanda mulai datang
bekerja. Tapi sampai pukul sembilan pagi, tidak ada pengunjung. Eka
memutuskan mendekati bos pasukan Jepang. Eka mentraktir si Jepang makan
minum di tenda. Setelah mencicipi seperempat ayam komplit dengan kecap
cuka dan bawang putih, minum dua teguk whisky gratis, si Jepang bilang
joto. Setelah itu, semua anak buahnya dan tawanan diperbolehkan makan
minum di tenda Eka. Tentu saja beliau meminta izin untuk mengangkat
semua barang yang sudah dibuang.
Segera Eka mengerahkan anak-anak sekampung mengangkat
barang-barang itu dan membayar mereka 5 – 10 sen. Semua barang diangkat
ke rumah dengan becak. Rumah berikut halaman Eka, dan setengah halaman
tetangga penuh terisi segala macam barang. Beliau pun
bekerja keras memilih apa yang dapat dipakai dan dijual. Terigu
misalnya, yang masih baik dipisahkan. Yang sudah keras ditumbuk kembali
dan dirawat sampai dapat dipakai lagi. Beliau pun belajar bagaimana
menjahit karung.
Karena waktu itu keadaan perang,
maka suplai bahan bangunan dan barang keperluan sangat kurang. Itu
sebabnya semen, terigu, arak Cina dan barang lainnya yang beliau peroleh
dari puing-puing itu menjadi sangat berharga. Beliau mulai menjual
terigu. Semula terigu, hanya Rp. 50 per karung, lalu beliau
menaikkan menjadi Rp. 60, dan akhirnya Rp. 150. Untuk semen, beliau
mulai menjual Rp. 20 per karung, kemudian Rp. 40.
Kala itu
ada kontraktor hendak membeli semennya, untuk membuat kuburan orang
kaya. Tentu Eka menolak, sebab menurut beliau, ngapain jual semen ke
kontraktor? Maka Eka pun kemudian menjadi kontraktor pembuat kuburan
orang kaya. Beliau membayar tukang, Rp. 15 per hari ditambah 20 persen
saham kosong untuk mengadakan kontrak pembuatan enam kuburan mewah.
Beliau mulai dengan Rp. 3.500 per kuburan, dan yang terakhir membayar
Rp. 6.000. Setelah semen dan besi beton habis, beliau berhenti sebagai
kontraktor kuburan.
Setelah itu, beliau berdagang
kopra, dan berlayar berhari-hari ke Selayar (Selatan Sulsel) dan ke
sentra-sentra kopra lainnya untuk memperoleh kopra murah. Beliau tidak
mengeluh karena transportasi yang sulit saat itu.
Eka pun
mereguk laba besar, tetapi mendadak beliau nyaris bangkrut karena
Jepang mengeluarkan peraturan bahwa jual beli minyak kelapa dikuasai
Mitsubishi yang memberi Rp. 1,80 per kaleng. Padahal di pasaran harga
per kaleng Rp. 6. Eka rugi besar.
Beliau
pun mencari peluang lain. Berdagang gula, lalu teng-teng (makanan khas
Makassar dari gula merah dan kacang tanah), wijen, kembang gula. Tapi
ketika mulai berkibar, harga gula jatuh, beliau rugi besar, modalnya
habis lagi, bahkan berutang. Eka harus menjual mobil jip, dua sedan
serta menjual perhiasan keluarga termasuk cincin kawin untuk menutup
utang dagang.
Tapi
Eka berusaha lagi. Dari usaha leveransir dan aneka kebutuhan lainnya.
Usahanya juga masih jatuh bangun. Misalnya, ketika sudah berkibar tahun
1950-an, ada Permesta, dan barang dagangannya, terutama kopra habis
dijarah oknum-oknum Permesta. Modal beliau habis lagi. Namun Eka bangkit
lagi, dan berdagang lagi.
Pada
masa Orde Baru, usaha beliau berkembang, PT Tjiwi Kimia yang beliau
dirikan dapat memproduksi 10.000 ton kertas, tahun
1980-1981 beliau membeli perkebunan kelapa sawit seluas 10 ribu hektar
di Riau, mesin serta pabrik berkapasitas 60 ribu ton. Perkebunan dan
pabrik teh seluas 1.000 hektar berkapasitas 20 ribu ton dibelinya pula.
Tahun
1982, beliau membeli Bank Internasional Indonesia(BII), hingga sekarang
BII memiliki 40 cabang dan cabang pembantu, dengan aset Rp 9,2 triliyun.
PT. Indah Kiat juga beliau beli. Tidak hanya di bisnis kertas,
perbankan dan minyak. Eka juga merambah bisnis real estate.
Beliau bangun ITC Mangga Dua, ruko, apartemen lengkap dengan pusat
perdagangan. Di Roxy beliau membangun apartemen Green View, di Kuningan
ada Ambassador.
“Saya
Sungguh menyadari, saya bisa seperti sekarang karena Tuhan Maha Baik.
Saya sangat percaya Tuhan, dan selalu ingin menjadi hamba Nya yang baik”
katanya mengomentari semua suksesnya kini. “Kecuali itu, hematlah,”
tambahnya.
Beliau
menyarankan, kalau hendak menjadi pengusaha besar, belajarlah
mengendalikan uang. Jangan laba hanya Rp. 100, belanjanya Rp. 90. Dan
kalau untung Cuma Rp. 200, jangan coba-coba belanja Rp. 210,” Waahhh,
itu cilaka betul,” katanya.
Penutup
Kisah perjuangan Eka Tjipta Widjaja dalam meraih kesuksesan berbisnis, membuka mata kita, bahwa ijazah, tidak menentukan seberapa besar berhasilnya kita dalam meraih kesuksesan. Semangat pantang menyerah, tidak takut gagal, tekad yang kuat, merupakan hal yang penting dalam menghadapi rintangan menuju kesuksesan. Di samping itu, jangan mengeluh dengan keadaan, dan banyak-banyaklah bersyukur.
Referensi